Saturday, August 27, 2005

Bahasa Tulis --

Di suatu milis yang saya ikuti, terjadi diskusi yang sangat hangat -- bahkan menjadi panas, dan keluar dari topik sebenarnya. Saya sendiri tidak terlibat dalam diskusi tersebut, hanya menjadi penonton saja. (..hem... ternyata ada keasyikan juga menonton "peperangan"....).
Rupa-rupanya, penyebab diskusi menjadi melebar adalah adanya kesalahpahaman diantara pediskusi dalam memaknai setiap postingan. Saya tidak lagi mengikuti bagaimana "perang" tersebut berakhir, namun ada postingan yang -menurut saya- sangat bijak, yang bertutur dan mencoba memberi pemahaman tentang "bahasa-tulis" dan "bahasa-ujar", berusaha menengahi diskusi tersebut. Agar pembaca blog ini juga tidak memaknai berbeda, sebaiknya saya cantumkan seluruh isi postingan bijak tersebut :

Dunia "bahasa-tulis" (seperti milis ini) memiliki perbedaan yang cukup
signifikan dengan dunia "bahasa-ujar". Dalam bahasa-ujar ada banyak
penunjang makna, seperti: intonasi, gerak tubuh, dan mimik muka.
Sebuah kalimat yang sama dapat berbeda makna karena diucapkan dengan
intonasi, gerak tubuh, dan mimik yang berbeda. Sebaliknya dalam
bahasa tulis (dalam hal ini email), penunjang makna hanyalah emoticon,
seperti :( , ;) , dsb.nya. Jadi, kesalah-fahaman dapat lebih mudah
terjadi dalam bahasa-tulis dibandingkan dengan dalam bahasa-ujar.

Seseorang dalam hatinya bermaksud bercanda ketika mem-posting sesuatu.
Namun maksud itu tidak tampak dalam tulisannya. Maka pembaca tidak
akan memahaminya sebagai sebuah canda.

Karena itu, mohon maaf bukan hendak menggurui, berhati-hatilah dalam
menuliskan sesuatu. Apa yang kita maksudkan ketika kita menulis belum
tentu sama dengan apa yang orang fahami ketika orang itu membacanya.

Just my 2 cent.

salam dari Bekasi,
Ihsan.


Saya mencoba mengambil pelajaran dari ini semua, betapa ternyata lidah bisa berperan melebihi pedang.
Begitu juga dengan tulisan -- termasuk tulisan di media cetak, milis, bahkan blog sekalipun, memiliki ketajaman yang sama bahkan bisa melebihi pedang.
Semoga para penulis di negeri ini (dan termasuk saya), bisa lebih arif dan berhati-hati menuangkan tulisan.

(Terima kasih kpd Ihsan yg telah memberi pencerahan)

Wednesday, August 10, 2005

Melepas kelekatan anak

Beberapa tips melepas kelekatan anak pada orang tuanya. :


Berikut 8 langkah yang diberikan Niken, agar anak bisa melonggarkan keterikatannya pada ayah-ibu.

1. TUMBUHKAN RASA AMAN DAN NYAMAN

Kelewat lengket dengan orang tua sebetulnya merupakan ungkapan rasa tidak aman. Rasa ini umumnya muncul pada saat anak berada di luar rumah. Saat itu ia merasa harus terpisah dari keluarganya, terutama ayah dan ibu.

Agar anak merasa aman, orang tua perlu memberi penjelasan sederhana yang mudah dimengerti, contohnya, "Om ini baik, kok. Dia juga pintar nyanyi dan bikin mainan lucu-lucu. Jadi, kamu enggak perlu takut." Selain aman, tumbuhkan pula rasa nyaman. "Kenapa takut? Kan, Mama ada di sini, di samping Adik," misalnya. Jangan lupa, tersenyumlah kepadanya agar tumbuh perasaan nyaman.

Rasa aman dan nyaman merupakan modal penting dalam melakukan berbagai aktivitas. Dengan merasa tenteram ia bisa bebas bermain yang berarti memudahkannya melepaskan diri dari kelekatan dengan orang tua.
.....
(bersambung)