Thursday, October 14, 2004

Siapakah Engkau Anak?

Penulis : Rudy Harahap (dari republika online)


Cukup berdosa orang yang menyia-nyiakan tanggungjawab keluarga (HR Abu Dawud)

Siapakah engkau sesungguhnya, nanda, yang hadir di dalam kehidupanku? Sungguh, di saat menyaksikan wajahmu di dalam tidurmu, aku selalu diusik pertanyaan tersebut. Di tengah temaram lampu tidur pada malam yang senyap, kusaksikan kelasakanmu siang tadi, kini menjadi keteduhan telaga. Keteduhanmu, sungguh, selalu mengirikan orangtua.

Hingga usiamu kembali menghampiri ulangtahunmu, aku masih belum mendapati jawaban pasti, dari manakah engkau berasal dan kini menemani kami? Memang, ilmu kedokteran telah memberikan penjelasan: anak lahir akibat pembuahan pada sel telur (ovum) perempuan. Tapi, seringkas itukah penjelasan kehadiranmu, ketika engkau menawarkan jutaan keajaiban? Tawa, canda, dan kicau muraimu bagai air sejuk di kerongkongan orangtua yang dahaga. Di saat engkau murung, maka muramlah dunia. Seperti warna-warni di dalam lukisanmu, begitulah maknamu di tengah keluarga.

Penjelasan medis gagal mendefinisikanmu. Ah, mungkin Rambiradrant Tagore dengan kebernasan pemikiran seorang filsuf, lebih tepat melukiskanmu ketika mengungkapkan, ''Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.''

Sang filsuf mungkin terpesona, kehadiranmu yang menjadi regenerasi bagi kehidupan, menjadi simbol eksistensi manusia bersama peradabannya, di muka bumi. Dengan demikian, Tagore mengungkapkan, ''Tuhan belum jera dengan manusia'' sehingga manusia hingga kini masih menjadi khalifah di muka bumi.

Seperti Tagore, saya pun ingin memaknai kehadiranmu. Tapi saya enggan menjadi sang penyair Khalil Gibran yang mengungkapkan, ''Anakmu bukan anakmu tetapi anak dari kehidupan.'' Maka nanda, di tengah keteduhan wajahmu di saat terlelap, kutemukan makna: engkau hadir sebagai refleksi daripada sifat Allah yang maha pengasih dan penyayang, maha pemberi dan maha penjaga. Mungkin itulah pesan yang tergenggam di tanganmu yang mungil -- bukankah setiap anak yang lahir dengan tangan terkepal -- saat pertama hadir di bumi.

Dengan kehadiranmu di tengah keluarga, menyebabkan orangtua rela dipanggang terik, demi memeliharamu dari rasa lapar. Tiada pemberian yang terikhlas terkecuali kepada anak. Tiada kasih bertepi kecuali kepada anak. Kehadiranmu yang menggenggam pesan, menyebabkan orangtua menjadi penyayang, pemelihara, mengikuti sifat Allah. Nabi yang menjadi junjungan umat pun berpesan, Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki (HR Arththahawi).

Seperti kisah para ulama, Nabi bersedia memperlama sujudnya karena ada seorang anak naik ke punggungnya. Dapat kubayangkan, Nabi memperlama sujud, karena sangat mengasihi anak. Tapi, di balik kisah itu, aku menghayati betapa seorang anak bersama kelasakannya, memberi bentuk pengajaran agar orangtua senantiasa memperlama sujud kepada-Nya. Bukankah engkau amanah? Baik atau buruk kehidupanmu menjadi tanggung jawab orangtua. Warisan bagi Allah 'Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya (HR Arththahawi).

Nanda, di tengah keteduhan air mukamu ketika terpulas, aku membayangkan: bagaimanakah kehidupanmu di masa depan? Betapa keserakahan para orangtua, seringkali mengatasnamakan untuk menjagamu dari rasa lapar sehingga korupsi dan mengeksploitasi alam, membuatku gamang membayangkan masa depanmu. Transparency International mencatat, Indonesia merupakan negara terkorup kelima, di dunia (kubayangkan: wajah-wajah kalian tertekuk tanpa marwah sebagai bangsa yang telah menggadaikan harga diri di muka bumi).

Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia. Ah, Tagore memang benar, Tuhan belum jemu kepada manusia sehingga mengirimkan pesan melaluimu; mengepal tangan di saat dilahirkan. Tapi, kami para orangtua ini, justru seringkali abai kepada-Nya sehingga alpa menangkap pesan Tuhan di balik kelahiranmu. Sebagian daripada kami mendengus-dengus laiknya hewan yang diharamkan umat Islam (ah, betapa pengharaman untuk memakannya, semestinya tidak dimaknai memakan belaka tetapi meniru keserakahan sifatnya) menciptakan prahara di muka bumi. Padahal bukankah makna kehadiranmu merupakan pesan agar kasih-mengasihi, saling memelihara, dan tidak menaburkan kerusakan di muka bumi?

Ada juga di antara kami para orangtuamu, menerimamu hanya karena sesuai definisi kedokteran: kamu hadir akibat konsekuensi percintaan orangtua. Dengan demikian, mereka abai menangkap pesan bahwa kamu hadir sebagai refleksi sifat Allah terhadap hamba-Nya, sehingga hanya mengutamakan kebutuhan materimu. Tidak sedikit, bahkan, orangtua yang rela meninggalkamu: pergi jauh-jauh sekolah demi masa depannya, bukan mengutamakan memeliharamu sebagai ''warisan bagi Allah'' di hari kemudian.

Nanda, saat saya menulis ini di keheningan malam, hanya ditemani suara almarhum P Ramlee yang menyenandungkan tembang Anakku Sayali (tembang itu yang menidurkan ayah semasa kecil). Dengarlah: suaranya, suara cinta seorang ayah saat menyenandungkan andainya kami lah menyahut panggilan Ilahi, laguku biarlah ganti di jiwamu abadi. Betapa cinta P Ramlee (baca: orangtua) yang tidak bertepi, ingin abadi menembus ruang dan waktu melalui lagu, terhadap anaknya. Betapa agung cintanya kepada anak terutama ketika ia telah tiada.

Nanda, tembang P Ramlee itu, tembang cinta seorang ayah kepada anaknya, membuat air mataku merebak. Sungai kecil mengalir di pipi. Semestinya setiap orangtua seperti P Ramlee. Maka, maafkan nanda, bila masih ada orangtua yang tidak insyaf jika kehadiranmu merupakan jalan rohani untuk menghampiri-Nya. Maafkan nanda, bila ada orangtua yang tidak mampu menerima pesan di balik kepalan tangan seorang bayi yang tergenggam saat lahir, bahwa (pesan itu) agar kami para orangtua meneladani sifat Allah di muka bumi.