Thursday, October 21, 2004

Jaman Edan (kah..?)

Benarkah kita memasuki Jaman Edan ?

Iseng-iseng aku cari info jaman edan di Internet, walhasil nemu juga, lengkap dengan serat Jongko Joyoboyo nya Ronggowarsito. Serat Jongko Joyoboyo (sebagian menulis dengan Jangka Jayabaya) adalah tulisan-tulisan hasil kontemplasi sangat dalam dari R. Ronggowarsito, seoran penulis, sastrawan, filsul, dan tokoh spiritual pada jaman Raja-raja, hidup di Surakarta (tahunnya aku lupa .......hehehheee).
Perenungan yang sangat dalam beliau mampu melewati dimensi ruang waktu : sehingga bisa “melihat” gambaran alam dunia ini di masa datang.
Berikut beberapa cuplikannya :

Yen bakal nemoni jaman:
akeh janji ora ditetepi,
wong nrajang sumpahe dhewe.
Manungsa padha seneng tumindak ngalah
tan nindakake ukum Allah.
Bareng jahat diangkat-angkat,

bareng suci dibenci.
Akeh manungsa ngutamakake reyal,
lali sanak lali kadang.
Akeh bapa lali anak,
anak nladhung biyunge.

Bahasa Indonesia nya kira-kira demikian :

Jika anda akan menemui jaman :
Banyak janji-janji enggak ditetapi
Orang-orang melanggar sumpahnya sendiri
Banyak orang suka sekali bertindak salah
Tanpa menunaikan hukum-hukum Allah.
Kejahatan diangkat dan dipuja-puji
Sementara tindakan suci dibenci
Orang-orang semakin materialistik
Lupa sanak Lupa saudara
Orang tua (Bapak) melupakan anaknya
Anak mengkhianati ibunya sendiri...


Ronggowarsito melukiskan jaman tersebut adalah Jaman Edan.

Sahabat, dibulan suci ini, mari kita merenungkan kajadian-kejadian di sekeliling kita. Bagaimana sebuah janji sangat mudah sekali terucap, tanpa pernah ada kenyataan. Atau jika kita sering membaca berita, betapa seorang anak tega mencelakai orang tua hanya karena alasan yang sepele....
Atau betapa harta telah menjadi dewa yang sangat dipuja.....
Benarkah kita telah memasuki Jaman Edan ? Atau bahkan kita aktor yang terlibat menciptakan Jaman Edan ? Atau ...inikah memang yang diinginkan Tuhan Yang Maha Mulia dengan ciptaanNya? Wallohu a’lam...
Bagaimana pendapat sahabat? Tidak gundahkah kita menghadapi semua ini?



Thursday, October 14, 2004

Siapakah Engkau Anak?

Penulis : Rudy Harahap (dari republika online)


Cukup berdosa orang yang menyia-nyiakan tanggungjawab keluarga (HR Abu Dawud)

Siapakah engkau sesungguhnya, nanda, yang hadir di dalam kehidupanku? Sungguh, di saat menyaksikan wajahmu di dalam tidurmu, aku selalu diusik pertanyaan tersebut. Di tengah temaram lampu tidur pada malam yang senyap, kusaksikan kelasakanmu siang tadi, kini menjadi keteduhan telaga. Keteduhanmu, sungguh, selalu mengirikan orangtua.

Hingga usiamu kembali menghampiri ulangtahunmu, aku masih belum mendapati jawaban pasti, dari manakah engkau berasal dan kini menemani kami? Memang, ilmu kedokteran telah memberikan penjelasan: anak lahir akibat pembuahan pada sel telur (ovum) perempuan. Tapi, seringkas itukah penjelasan kehadiranmu, ketika engkau menawarkan jutaan keajaiban? Tawa, canda, dan kicau muraimu bagai air sejuk di kerongkongan orangtua yang dahaga. Di saat engkau murung, maka muramlah dunia. Seperti warna-warni di dalam lukisanmu, begitulah maknamu di tengah keluarga.

Penjelasan medis gagal mendefinisikanmu. Ah, mungkin Rambiradrant Tagore dengan kebernasan pemikiran seorang filsuf, lebih tepat melukiskanmu ketika mengungkapkan, ''Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia.''

Sang filsuf mungkin terpesona, kehadiranmu yang menjadi regenerasi bagi kehidupan, menjadi simbol eksistensi manusia bersama peradabannya, di muka bumi. Dengan demikian, Tagore mengungkapkan, ''Tuhan belum jera dengan manusia'' sehingga manusia hingga kini masih menjadi khalifah di muka bumi.

Seperti Tagore, saya pun ingin memaknai kehadiranmu. Tapi saya enggan menjadi sang penyair Khalil Gibran yang mengungkapkan, ''Anakmu bukan anakmu tetapi anak dari kehidupan.'' Maka nanda, di tengah keteduhan wajahmu di saat terlelap, kutemukan makna: engkau hadir sebagai refleksi daripada sifat Allah yang maha pengasih dan penyayang, maha pemberi dan maha penjaga. Mungkin itulah pesan yang tergenggam di tanganmu yang mungil -- bukankah setiap anak yang lahir dengan tangan terkepal -- saat pertama hadir di bumi.

Dengan kehadiranmu di tengah keluarga, menyebabkan orangtua rela dipanggang terik, demi memeliharamu dari rasa lapar. Tiada pemberian yang terikhlas terkecuali kepada anak. Tiada kasih bertepi kecuali kepada anak. Kehadiranmu yang menggenggam pesan, menyebabkan orangtua menjadi penyayang, pemelihara, mengikuti sifat Allah. Nabi yang menjadi junjungan umat pun berpesan, Cintailah anak-anak dan kasih sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki (HR Arththahawi).

Seperti kisah para ulama, Nabi bersedia memperlama sujudnya karena ada seorang anak naik ke punggungnya. Dapat kubayangkan, Nabi memperlama sujud, karena sangat mengasihi anak. Tapi, di balik kisah itu, aku menghayati betapa seorang anak bersama kelasakannya, memberi bentuk pengajaran agar orangtua senantiasa memperlama sujud kepada-Nya. Bukankah engkau amanah? Baik atau buruk kehidupanmu menjadi tanggung jawab orangtua. Warisan bagi Allah 'Azza wajalla dari hambaNya yang beriman ialah puteranya yang beribadah kepada Allah sesudahnya (HR Arththahawi).

Nanda, di tengah keteduhan air mukamu ketika terpulas, aku membayangkan: bagaimanakah kehidupanmu di masa depan? Betapa keserakahan para orangtua, seringkali mengatasnamakan untuk menjagamu dari rasa lapar sehingga korupsi dan mengeksploitasi alam, membuatku gamang membayangkan masa depanmu. Transparency International mencatat, Indonesia merupakan negara terkorup kelima, di dunia (kubayangkan: wajah-wajah kalian tertekuk tanpa marwah sebagai bangsa yang telah menggadaikan harga diri di muka bumi).

Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belum jera dengan manusia. Ah, Tagore memang benar, Tuhan belum jemu kepada manusia sehingga mengirimkan pesan melaluimu; mengepal tangan di saat dilahirkan. Tapi, kami para orangtua ini, justru seringkali abai kepada-Nya sehingga alpa menangkap pesan Tuhan di balik kelahiranmu. Sebagian daripada kami mendengus-dengus laiknya hewan yang diharamkan umat Islam (ah, betapa pengharaman untuk memakannya, semestinya tidak dimaknai memakan belaka tetapi meniru keserakahan sifatnya) menciptakan prahara di muka bumi. Padahal bukankah makna kehadiranmu merupakan pesan agar kasih-mengasihi, saling memelihara, dan tidak menaburkan kerusakan di muka bumi?

Ada juga di antara kami para orangtuamu, menerimamu hanya karena sesuai definisi kedokteran: kamu hadir akibat konsekuensi percintaan orangtua. Dengan demikian, mereka abai menangkap pesan bahwa kamu hadir sebagai refleksi sifat Allah terhadap hamba-Nya, sehingga hanya mengutamakan kebutuhan materimu. Tidak sedikit, bahkan, orangtua yang rela meninggalkamu: pergi jauh-jauh sekolah demi masa depannya, bukan mengutamakan memeliharamu sebagai ''warisan bagi Allah'' di hari kemudian.

Nanda, saat saya menulis ini di keheningan malam, hanya ditemani suara almarhum P Ramlee yang menyenandungkan tembang Anakku Sayali (tembang itu yang menidurkan ayah semasa kecil). Dengarlah: suaranya, suara cinta seorang ayah saat menyenandungkan andainya kami lah menyahut panggilan Ilahi, laguku biarlah ganti di jiwamu abadi. Betapa cinta P Ramlee (baca: orangtua) yang tidak bertepi, ingin abadi menembus ruang dan waktu melalui lagu, terhadap anaknya. Betapa agung cintanya kepada anak terutama ketika ia telah tiada.

Nanda, tembang P Ramlee itu, tembang cinta seorang ayah kepada anaknya, membuat air mataku merebak. Sungai kecil mengalir di pipi. Semestinya setiap orangtua seperti P Ramlee. Maka, maafkan nanda, bila masih ada orangtua yang tidak insyaf jika kehadiranmu merupakan jalan rohani untuk menghampiri-Nya. Maafkan nanda, bila ada orangtua yang tidak mampu menerima pesan di balik kepalan tangan seorang bayi yang tergenggam saat lahir, bahwa (pesan itu) agar kami para orangtua meneladani sifat Allah di muka bumi.

Tuesday, October 12, 2004

Ketidak adilan boss - Keadilan Tuhan --

Malam Minggu, 9 Oktober 2004, datang ke rumah saya sahabat lama. Terpisah oleh jarak yang sangat panjang , dan rentang waktu yang sangat lama – lama sekali bahkan, maka kehadirannya jelas-jelas membawa keharuan tersendiri.
Ada apa gerangan sahabat tiba-tiba berkunjung tanpa komunikasi terlebih dahulu.
“Really fucking boss” katanya dengan bahasa inggris – satu-satunya kalimat bahasa inggris yang dia ketahui. Maklum dia emang bekerja di perusahaan wireless – dan beberapa kali mungkin bertemu dengan client luar negerinya, jadi ngerti dikit-dikit bahasa inggris.
Dia terus berkisah (tepatnya berkeluh kesah) mengenai kondisi kantor dan perilaku siempunya perusahaan (dia menyebut Boss). “Coba bayangkan mas...”lanjutnya” Ditempat kami, keringat ternyata lebih berharga dari otak”.
“Aku tidak tahu arti keadilan setelah bekerja disini” katanya masih dengan emosi yang sangat tinggi.
Ceritanya..kawan sejati saya ini lagi gundah gulana, berkaitan dengan lingkungan kerja, volume pekerjaan, dan segala sesuatu dikantornya, termasuk penghargaan terhadap prestasi kerja. Beliau berkisah tentang ketidak jelasan wewenang – tanggung jawab – dan job description yang samar. Dia mengerjakan “hampir” semuanya – mulai dari menyapu sampai berkomunikasi dengan client. Kawannya dia – dari divisi berbeda juga mengerjakan pekerjaan yang sama dia lakukan. Dan betapa kawannya akhirnya memutuskan untuk keluar dari kantor, karena kondisi ini. Ketidak jelasan – kesemrawutan dan ketidak adilan salary, ditambah perkataan terakhir dari bossnya benar-benar telah memicu otak kesadaran kemanusiaannya. Harga dirinya merasa tercobak-cabik, pekerjaannya – hasil otak encernya - ternyata tidak berharga sama sekali. Haruskan dia mengikuti jejak kawannya keluar dari kantor tersebut? Dia sedang gundah gulana. Hem... kemarahan dan kegundahan yang bisa diterima akal.
Saya katakan “ Mungkin antum perlu berdiskusi mengenai pekerjaan antum dengan boss anda”
“Percuma aja mas” katanya, “Kami sudah berusaha membuat job descriptions sedemikian rupa, sudah di usulkan ke atasan, memang usulan diterima, tapi pelaksanaan tidak sesuai dengan usulan”
“Boss selalu berpegang pada pasal 1 dan 2”
Aku mengerti pasal yang dia maksudkan. Kami berkesimpulan bahwa komunikasi kerja memang sudah tidak mungkin lagi dilakukan.
“Sahabat”, kataku, “marilah kita mawas diri sebelum melihat kesalahan orang lain” Tiap manusia memiliki kesalahan – itu pasti – tapi tiap orang juga sisi baiknya. Ketika anda berprasangka bahwa boss anda manusia paling tidak adil didunia, anda hanya melihat dari sisi buruknya. Ingatlah bahwa dia juga punya sisi baik – sekecil apapun. Kita harus menghargai itu sebagai salah satu bentuk penghargaan kita terhadap Tuhan.
Bahwa gaji yang anda terima tidak sesuai dengan ukuran anda....untuk sementara kita abaikan dulu. Kalkulasi mengenai ini akan terlalu panjang dan tidak akan mencapai titik temu.
Sahabat, marilah kita selalu ingat apa kata guru ngaji kita dulu. Bahwa rejeki adalah milik Alloh Yang Maha Pemberi Rejeki. Berapapun gaji yang anda terima – jika anda ikhlas dan anda dapatkan dengan cara-cara yang diperkenankan Tuhan, Insya akan lebih barokah dari pada milyaran rupiah yang didapatkan dengan cara yang dibenci Tuhan. Bahwa boss anda telah berlaku tidak adil, marilah semuanya kita serahkan kepada Yang Maha Adil. Keadilan Alloh Yang Maha Adil, tidak mungkin berbohong. Tuhan memiliki sendiri konsep keadilan ini, konsep kasih sayang dan aturan pemberian rejeki.
Malam semakin larut... sahabat saya nampaknya telah puas mencurahkan kegundahan. Memang Tuhanlah tempat sejati sandaran kita, Dia lah Maha Penyayang sejati.
Semoga Alloh senantiasa memberi anakku rejeki yang barokah. Amien...